Bumi Tanpa Hati

Hidup menjadi mesin tanpa kontrol kendali. Menyadari saat satu persatu hilang tak bisa ditemui. Menyadari saat satu persatu hal yang berbeda tak lagi sama. Menyadari saat terasa sepi, sendiri dan berbeda.

Melihat diriku dan diri mereka saling beradu argumen dengan kata kasar. Menghina. Menertawakan. Tanpa sadar saling melukai.

Tidak melihat sisi hati lagi. Mendahulukan kepentingan yang tak berarti. Di perjuangkan sampai mati. Tidak tahu saudara. Tidak tahu manusia. Tidak tahu hati.

Pernah jatuh sakit, tapi dikira bermain api? Dikira pura-pura sakit, padahal benar sakit. Di adu sampai malu. Hingga jadi tak tahu malu.

Saat itu umurku 13 tahun. Aku tersesat didalam pergaulan yang tidak ku tahu saat itu bagaimana buruknya. Saat aku terlena, yang tahu dimana buruknya pergi meninggalkan. Tak hanya pergi. Tetapi mencaci, seperti mereka memandang tai. Saat ku dengar caci, aku bertanya, tak maukah diri mereka menarik ku untuk menemukan jalan yang benar tanpa harus menyakitiku dulu? Apakah hati mu hilang temanku?

Lalu, saat itu umurku 16 tahun. Aku harus masuk rumah sakit berulang kali dalam waktu 1 bulan. Hingga tak tahu bagaimana kabar sekolah ku. Bahkan tak ada yang mau mengabarkan tentang sekolahku. Saat ku tanya bagaimana, aku di caci. Tak tahu diri, karena meninggalkan sekolah yang sangat berarti untuk pribadi. Tapi yang ku rasa lebih sakit dari sakitku. Adakah tanyakan dulu kabar ku? Adakah tanyakan dulu bagaimana perasaan ku? Sedihnya, seorang maha pengetehauan yang membimbingku yang mengeluarkan perkataan itu. Ingin kutanya, apakah hati mu hilang guruku?

Sekarang, saat diriku dan mereka terus beradu, tak sadar aku hidup terbiasa seperti mesin, lalu berperilaku mesin. Bahkan tak layak seperti mesin. Tak punya kontrol kendali. Hingga...

Aku melihat bumi menjadi layu. Langit pelindung yang dulu hamparan yang luas, sekarang bersekat. Laut bebas yang menjadi pelepas dahaga kini menjadi teluk kecil. Tenggelam dalam mayoritas. Tenggelam dalam kepentingan sendiri. Tenggelam dalam bumi yang hilang hatinya.

Aku ingin mencari hati milik bumiku atau membangunnya lagi, dan harus bersamu. Karena aku hidup di bumi bukan hanya bersama Tuhan tetapi juga ada kamu mahluk hidup lain, yang diberi hati.

Komentar